Senin, 26 Maret 2012

PENDIDIKAN BERKARAKTER


BAB I
PENTINGNYA PENDIDIKAN BERKARAKTER

A.    Hakikat Pendidikan Berkarakter
Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatar belakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belim dihayatinya nilai-nilai Pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai etika kehidupan berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi bangsa, dan melemahnya kemandirian bangsa.
Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), sesungguhnya hal yang dimaksud itu sudah tertuang dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu “ Pendidikan nasional berfunngsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
RPJPN dan UUSPN merupakan landasan yang kokoh untuk melaksanakan secara operasional pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai prioritas program Kemendiknas 2010-2014, yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010); pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), tetapi juga merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan dan dilakukan.
B.     Tujuan, Fungsi dan Media Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan YME berdasarkan Pancasila.
Fungsi pendidikan karakter yaitu;
1.      Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik
2.      Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur
3.      Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha dan media massa,
C.    Nilai-nilai Pembentuk Karakter
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu;
1.      Religius
2.      Jujur
3.      Toleransi
4.      Disiplin
5.      Kerja keras
6.      Kreatif
7.      Mandiri
8.      Demokratis
9.      Rasa ingin tahu
10.  Semangat kebangsaan
11.  Cinta tanah air
12.  Menghargai prestasi
13.  Bersahabat/Komunikatif
14.  Cinta damai
15.  Gemar membaca
16.  Peduli lingkungan
17.  Peduli sosial
18.  Tanggung jawab
Di antara berbagai nilai yang dikembangkan, dalam pelaksanaannya dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah/wilayah yakni bersih, rapi, nyaman, disiplin, sopan dan santun.
D.    Proses Pendidikan Karakter
Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik), dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan dan masyarakat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosio-kultural dapat dikelompokkan dalam;
1.      Olah hati (spiritual and emotional development)
2.      Olah pikir (intellectual development)
3.      Olah raga dan kinestetik (physical and kinesthetic development), dan
4.      Olah rasa dan karsa (affective and creativity development)
Proses itu secara holistic dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi, serta masing-masing secara konseptual merupakan gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai.    


BAB II
STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER
A.    Strategi di Tingkat Kemendiknas
                        Pendekatan yang dilakukan Kemendiknas dalam pengembangan pendidikan karakter, yaitu;
1.      Stream Top Down
Jalur ini lebih banyak diambil oleh Pemerintah/Kemendiknas dan didukung secara sinergis oleh Pemda dalam hal ini Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam hal ini Pemerintah menggunakan lima strategi yang dilakukan secara koheren, yaitu:
Ø  Sosialisasi
Ø  Pengembangan regulasi
Ø  Pengembangan kapasitas
Ø  Implementasi dan kerja sama
Ø  Monitoring dan evaluasi

2.      Stream Bottom Up
Pengembangan pada jalur ini diharapkan dari inisiatif yang datang dari satuan pendidikan. Pemerintah memberikan bantuan secara teknis kepada sekolah-sekolah yang telah mengembangkan dan melaksanakan pendidikan karakter sesuai dengan ciri khas di lingkungan sekolah tersebut
3.      Stream Revitalisasi Program
Pada jalur ketiga ini, merevitalisasi kembali program-program kegiatan pendidikan karakter di mana pada umumnya banyak terdapat pada kegiatan ekstrakurikuler yang sudah ada dan sarat dengan nilai-nilai karakter.


Integrasi Tiga Pendekatan
Ketiga jalur top down yang lebih bersifat intervensi, bottom up yang lebih bersifat penggalian bestpractice dan habituasi, serta revitalisasi program kegiatan yang sudah ada yang lebih bersifat pemberdayaan. Ketiga pendekatan tersebut hendaknya dilaksanakan secara terintegrasi dalam keempat jalur pilar penting pendidikan karakter di sekolah sebagaimana yang dituangkan dalam Desain Induk Pendidikan Karakter, (2010:28), yaitu: kegiatan pembelajaran di kelas, pengembangan budaya satuan pendidikan, kegiatan ko-kurikuler, dan ekstrakurikuler.
B.     Strategi di Tingkat Daerah
Ada empat langkah yang digunakan pemerintah daerah dalam pengembangan pendidikan karakter, dimana semuanya dilakukan secara koheren
1.      Penyusunan  perangkat kebijakan di tingkat Kabupaten/Kota
2.      Penyiapan dan penyebaran bahan pendidikan karakter yang diprioritaskan
3.      Memberikan dukungan kepada Tim Pengembang Kurikulum (TPK) tingkat Kabupaten/Kota melalui Dinas Pendidikan
4.      Dukungan sarana, prasarana, dan pembiayaan

C.    Strategi di Tingkat Satuan Pendidikan
Strategi pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan merupakan suatu kesatuan dari program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah yang terimplementasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum oleh setiap satuan pendidikan. Strategi tersebut diwujudkan melalui pembelajaran aktif dengan penilaian berbasis kelas disertai dengan program remidiasi dan pengayaan.
1.      Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dalam rangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunakan pendekatan kontekstual sebagai konsep belajar dan mengajar yang membantu guru dan peserta didik mengaitkan antara materi yang disajikan dengan situasi dunia nyata, sehingga peserta didik mampu untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Pembelajaran kontekstual mencakup beberapa strategi, yaitu:
a.       Pembelajaran berbasis masalah
b.      Pembelajaran kooperatif
c.       Pembelajaran berbasis proyek
d.      Pembelajaran pelayanan
e.       Pembelajaran berbasis kerja

2.      Pengembangaan Budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar
Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dpat dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu:
a.       Kegiatan rutin
b.      Kegiatan spontan
c.       Keteladanaan
d.      Pengkondisian

3.      Kegiatan ko-kurikuler dan atau ekstrakurikuler
Demi terlaksananya kegiatan ini yang mendukung pendidikan karakter, perlu didukung adanya perangkat pedoman pelaksanaan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dalam rangka mendukung pelaksanaan pendidikan karakter, dan revitalisasi kegiatan ko dan ekstra yang sudah ada kea rah pengembangan karakter.

4.      Kegiatan keseharian di rumah dan di sekolah
Dalam kegiatan ini sekolah dapat mengupayakan keselarasan antara karakyer yang dikembangkannya di sekolah dengan pembiasaan di rumah dan di masyarakat.
D.    Penambahan Alokasi Waktu Pembelajaran
Penambahan alokasi waktu pembelajaran dapat dilakukan, misalnya:
1.      Sebelum pembelajaran dimulai, seluruh siswa disuruh membaca surat-surat pendek dari kitab suci, melakukan refleksi selama 15 s.d 20 menit
2.      Di hari-hari tertentu sebelum pembelajaran dimulai dilakukan kegiatan muhadarah(berkumpul di halaman sekolah selama 35 menit
3.      Pelaksanaan ibadah bersama-sama di siang hari selama antara 30 s.d 60 menit
4.      Kegiatan-kegiatan lain di luar pengembangan diri, yang dilakukan setelah jam pembelajaran selesai
5.      Kegiatan untuk membersihkan lingkungan sekolah sesudah jam pelajaran berakhir berlangsung selama antara 10 s.d 15 menit

E.     Penilaian Keberhasilan
Untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan dilakukan melalui berbagai program penilaian dengan membandingkan kondisi awal dengan pencapaian dalam waktu tertentu. Penilaian keberhasilan tersebut dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
1.      Menerapkan indikator dan nilai-nilai yang ditetapkan dan disepakati
2.      Menyusun berbagai instrumen penilaian
3.      Melakukan pencatatan terhadap pencapaian indikator
4.      Melakukan analisis dan evaluasi
5.      Melakukan tindak lanjut

Minggu, 18 Maret 2012

refleksi strategi pembelajaran inofatif


TEAMS-GAMES-TOURNAMENT (TGT)

Teams-Games-Tournament is one of the team learning strategies designed by Robert
Slavin for review and mastery learning of material. Slavin has found that TGT increased basic
skills, students’ achievement, positive interactions between students, acceptance of
mainstreamed classmates and self-esteem.
Overview
Students learn material in class; this can be taught traditionally, in small groups,
individually, using activities, etc. The heterogeneous Study Teams review the
material, then students compete in academically homogeneous Tournament Teams.
Students bring from 2-6 points back from their tournament to their Study Teams. Points
are totalled and normalized (for a group size of 4). It is the Study Team which is
successful. It should be noted that the Tournament is based on material often for which there
is a specific correct answer.

Teams Games-Tournaments (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh David DeVries dan Keith Edwards. Dalam TGT, para siswa dikelompokkan dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang heterogen. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran (Slavin, 2008). Secara umum, pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki prosedur belajar yang terdiri atas siklus regular dari aktivitas pembelajaran kooperatif. Games Tournament dimasukkan sebagai tahapan review setelah setelah siswa bekerja dalam tim (sama dengan TPS).
Dalam TGT siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. Siswa memainkan game ini bersama tiga orang pada “meja-turnamen”, di mana ketiga peserta dalam satu meja turnamen ini adalah para siswa yang memiliki rekor nilai IPA terakhir yang sama. Sebuah prosedur “menggeser kedudukan” membuat permainan ini cukup adil. Peraih rekor tertinggi dalam tiap meja turnamen akan mendapatkan 60 poin untuk timnya, tanpa menghiraukan dari meja mana ia mendapatkannya. Ini berarti bahwa mereka yang berprestasi rendah (bermain dengan yang berprestasi rendah juga) dan yang berprestasi tinggi (bermain dengan yang berprestasi tinggi) kedua-duanya memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. Tim dengan tingkat kinerja tertinggi mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan tim lainnya. TGT memiliki dimensi kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan permainan. Teman satu tim akan saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari lembar kegiatan dan menjelaskan masalah-masalah satu sama lain, tetapi sewaktu siswa sedang bermain dalam game temannya tidak boleh membantu, memastikan telah terjadi tanggung jawab individual.
Permainan TGT berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Tiap-tiap siswa akan mengambil sebuah kartu dan berusaha untuk menjawab pertanyaan yang sesuai dengan angka yang tertera. Turnamen ini memungkinkan bagi siswa untuk menyumbangkan skor-skor maksimal buat kelompoknya. Turnamen ini juga dapat digunakan sebagai review materi pelajaran. Dalam Implementasinya secara teknis Slavin (2008) mengemukakan empat langkah utama dalam pembelajaran dengan teknik TGT yang merupakan siklus regular dari aktivitas pembelajaran, sebagai berikut:
  • Step 1: Pengajaran, pada tahap ini guru menyampaikan materi pelajaran.
  • Step 2: Belajar Tim, para siswa mengerjakan lembar kegiatan dalam tim mereka untuk menguasai materi. I (nomor tertinggi) dan yang lain menjadi penantang I dan II.
  • Step 3: Turnamen, para siswa memainkan game akademik dalam kemampuan yang homogen, dengan meja turnamen tiga peserta (kompetisi dengan tiga peserta).
  • Step 4: Rekognisi Tim, skor tim dihitung berdasarkan skor turnamen anggota tim, dan tim tersebut akan direkognisi apabila mereka berhasil melampaui kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sedangkan Pelaksanaan games dalam bentuk turnamen dilakukan dengan prosedur, sebagai berikut:
  1. Guru menentukan nomor urut siswa dan menempatkan siswa pada meja turnamen (3 orang , kemampuan setara). Setiap meja terdapat 1 lembar permainan, 1 lbr jawaban, 1 kotak kartu nomor, 1 lbr skor permainan.
  2. Siswa mencabut kartu untuk menentukan pembaca
  3. Pembaca I menggocok kartu dan mengambil kartu yang teratas.
  4. Pembaca I membaca soal sesuai nomor pada kartu dan mencoba menjawabnya. Jika jawaban salah, tidak ada sanksi dan kartu dikembalikan. Jika benar kartu disimpan sebagai bukti skor.
  5. Jika penantang I dan II memiliki jawaban berbeda, mereka dapat mengajukan jawaban secara bergantian.
  6. Jika jawaban penantang salah, dia dikenakan denda mengembalikan kartu jawaban yang benar (jika ada).
  7. Selanjutnya siswa berganti posisi (sesuai urutan) dengan prosedur yang sama.
  8. Setelah selesai, siswa menghitung kartu dan skor mereka dan diakumulasi dengan semua tim.
  9. Penghargaan sertifikat, Tim Super untuk kriteria atas, Tim Sangat Baik (kriteria tengah), Tim Baik (kriteria bawah)
  10. Untuk melanjutkan turnamen, guru dapat melakukan pergeseran tempat siswa berdasarkan prestasi pada meja turnamen.
Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran TGT
Riset tentang pengaruh pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran telah banyak dilakukan oleh pakar pembelajaran maupun oleh para guru di sekolah. Dari tinjuan psikologis, terdapat dasar teoritis yang kuat untuk memprediksi bahwa metode-metode pembelajaran kooperatif yang menggunakan tujuan kelompok dan tanggung jawab individual akan meningkatkan pencapaian prestasi siswa. Dua teori utama yang mendukung pembelajaran kooperatif adalah teori motivasi dan teori kognitif.
Menurut Slavin (2008), perspektif motivasional pada pembelajaran kooperatif terutama memfokuskan pada penghargaan atau struktur tujuan di mana para siswa bekerja. Deutsch (1949) dalam Slavin (2008) mengidentifikasikan tiga struktur tujuan dalam pembelajaran kooperatif,  yaitu:
  1. kooperatif, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu memberi konstribusi pada pencapaian tujuan anggota yang lain.
  2. kompetitif, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu menghalangi pencapaian tujuan anggota lainnya.
  3. individualistik, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu tidak memiliki konsenkuensi apa pun bagi pencapaian tujuan anggota lainnya.
Dari pespektif motivasional, struktur tujuan kooperatif menciptakan sebuah situasi di mana satu-satunya cara anggota kelompok bisa meraih tujuan pribadi mereka adalah jika kelompok mereka sukses. Oleh karena itu, mereka harus membantu teman satu timnya untuk melakukan apa pun agar kelompok berhasil dan mendorong anggota satu timnya untuk melakukan usaha maksimal.
Sedangkan dari perspektif teori kognitif, Slavin (2008) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif menekankan pada pengaruh dari kerja sama terhadap pencapaian tujuan pembelajaran. Asumsi dasar dari teori pembangunan kognitif adalah bahwa interaksi di antara para siswa berkaitan dengan tugas-tugas yang sesuai mengingkatkan penguasaan mereka terhadap konsep kritik. Pengelompokan siswa yang heterogen mendorong interaksi yang kritis dan saling mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan atau kognitif. Penelitian psikologi kognitif menemukan bahwa jika informasi ingin dipertahankan di dalam memori dan berhubungan dengan informasi yang sudah ada di dalam memori, orang yang belajar harus terlibat dalam semacam pengaturan kembali kognitif, atau elaborasi dari materi. Salah satu cara elaborasi yang paling efektif adalah menjelaskan materinya kepada orang lain.
Namun demikian, tidak ada satupun model pembelajaran yang cocok untuk semua materi, situasi dan anak. Setiap model pembelajaran memiliki karakteristik yang menjadi penekanan dalam proses implementasinya dan sangat mendukung ketercapaian tujuan pembelajaran. Secara psikologis, lingkungan belajar yang diciptakan guru dapat direspon beragama oleh siswa sesuai dengan modalitas mereka. Dalam hal ini, pembelajaran kooperatif dengan teknik TGT, memiliki keunggulan dan kelemahan dalam implementasinya terutama dalam hal pencapaian hasil belajar dan efek psikologis bagi siswa. Slavin (2008), melaporkan beberapa laporan hasil riset tentang pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap pencapaian belajar siswa yang secara inplisit mengemukakan keunggulan dan kelemahan pembelajaran TGT, sebagai berikut:
  • Para siswa di dalam kelas-kelas yang menggunakan TGT memperoleh teman yang secara signifikan lebih banyak dari kelompok rasial mereka dari pada siswa yang ada dalam kelas tradisional.
  • Meningkatkan perasaan/persepsi siswa bahwa hasil yang mereka peroleh tergantung dari kinerja dan bukannya pada keberuntungan.
  • TGT meningkatkan harga diri sosial pada siswa tetapi tidak untuk rasa harga diri akademik mereka.
  • TGT meningkatkan kekooperatifan terhadap yang lain (kerja sama verbal dan nonberbal, kompetisi yang lebih sedikit)
  • Keterlibatan siswa lebih tinggi dalam belajar bersama, tetapi menggunakan waktu yang lebih banyak.
  • TGT meningkatkan kehadiran siswa di sekolah pada remaja-remaja dengan gangguan emosional, lebih sedikit yang menerima skors atau perlakuan lain.
Sebuah catatan yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran TGT adalah bahwa nilai kelompok tidaklah mencerminkan nilai individual siswa. Dengan demikian, guru harus merancang alat penilaian khusus untuk mengevaluasi tingkat pencapaian belajar siswa secara individual.